Header Ads Widget

Ticker

6/recent/ticker-posts

Kritik Terhadap Penerapan Standar Pelayanan 'No Viral No Justice’ Tugas dan Fungsi Ombudsman RI Dipertanyakan di Sulsel

ST Dwi Adiyah Pratiwi (doc.foto Ombudsman.go.id)
Satuberita.online, Makassar, Sulsel - Fenomena 'no viral no justice' mencerminkan bahwa pelayanan publik dapat berjalan baik hanya apabila mendapat intervensi berupa atensi dari publik, peranan atau tugas dan fungsi ombudsman RI Perwakilan Sulsel dipertanyakan, Kamis, (19/12/2024)

Dilansir dari halaman ombudsman.go.id. oleh : ST Dwi Adiyah Pratiwi, SH.,MH.,MAP Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Ombudsman RI Prov Sulsel, berjudul *No Viral No Justice’, Kritik Terhadap Penerapan Standar Pelayanan" Fenomena 'no viral no justice' mencerminkan bahwa pelayanan publik dapat berjalan baik hanya apabila mendapat intervensi berupa atensi dari publik, termasuk ombudsman Perwakilan sulsel Menimbulkan Tanda Tanya

Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan standar pelayanan yang seyogyanya dilaksanakan dalam penyelenggaraan pelayanan publik tidak sebagaimana mestinya.

Tak ubahnya seperti memperlihatkan praktik maladministrasi secara terang-terangan, berkaca pada kasus-kasus yang menyorot perhatian publik cenderung di antaranya merupakan pelayanan yang terindikasi berlarut-larut.

Penundaan berlarut sebagai salah satu jenis maladministrasi merupakan bentuk pelanggaran terhadap baku mutu waktu yang seharusnya dipenuhi dalam pemberian layanan kepada masyarakat.

Fahrianto
Ketua Harian LMP Sulsel
Daya dorong pelayanan prima yang terletak pada atensi, jelas jauh meninggalkan esensi pelayanan publik itu sendiri yang merupakan bentuk pelaksanaan kewajiban oleh instansi penyelenggara. 

Sekiranya, yang menjadi bahan bakar dalam menjalankan pelayanan yang berkualitas adalah komitmen penyelenggara terhadap pemenuhan standar pelayanan maka masyarakat tidak perlu menguras energi untuk menaruh persoalan yang dialami dalam pusaran perhatian khalayak ramai demi memperoleh tindak lanjut dari penyelenggara yang memang seharusnya sedari awal berhak diperoleh.

Standar pelayanan merupakan tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.

Ibarat sebuah tangga, ke-viral-an sesungguhnya merupakan kondisi yang melangkahi banyak anak tangga dalam kondisi ideal, sebab pada prinsipnya penyelenggaraan pelayanan publik secara sistematis telah ditata sedemikian melalui adanya kewajiban instansi penyelenggara untuk memenuhi dan menerapkan standar pelayanan, namun naasnya substansi hukum yang baik tidak dieksekusi dengan sama baiknya.

Step pertama, setiap instansi penyelenggara pelayanan publik seyogyanya menyusun standar pelayanan, salah satu di antaranya ialah standar 'Waktu Pelayanan' yang merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh proses dari suatu layanan, maka sepatutnya setiap jenis layanan memiliki jangka waktu berapa lama seharusnya layanan itu ditindak lanjuti dan memperoleh penyelesaian.

Laporan Polisi dan Laporan Ojk (doc.foto)
Dari 14 (empat belas) komponen standar pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, terdapat 6 (enam) komponen di antaranya merupakan kategori service delivery yang sifatnya wajib dipublikasikan agar diketahui oleh masyarakat. Ke enam komponen tersebut meliputi : persyaratan, jangka waktu, biaya/tarif, sistem mekanisme dan prosedur, produk layanan, dan penanganan pengaduan.

Step kedua yaitu penerapan standar pelayanan, hal yang cenderung dinafikan dalam tahapan ini ialah proses internalisasi di lingkup instansi penyelenggara itu sendiri, merupakan sebuah ironi dimana petugas/pelaksana di suatu instansi tidak mengetahui standar pelayanan yang berlaku pada instansinya tersebut, sehingga bagaimana mungkin publik memperoleh layanan yang sesuai tolak ukur dari pelaksana yang bahkan tidak mengetahui eksistensi tolak ukur itu sendiri, ibarat 'jauh panggang dari api'.

Idealnya dilakukan mekanisme kontrol terhadap komitmen dan konsistensi pelaksana dalam menerapkan standar pelayanan, salah satunya dengan pemberian punishment and reward terhadap petugas/pelaksana sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Pelayanan Publik.

Step ketiga ialah pengelolaan pengaduan, secara normatif pengaduan diatur eksplisit melalui Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanaan Publik, dimana setiap instansi pelayanan publik berkewajiban untuk menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten untuk mengelola pengaduan.

Sekiranya instansi pelayanan publik melaksanakan kewajiban ini, maka setiap bentuk keluhan masyarakat akan menemukan muaranya, apabila layanan yang diakses mulai menunjukkan gejala ketidaksesuaian dengan standar maka masyarakat dapat segera memanfaatkan sarana pengaduan ini untuk menyampaikan komplain. Dengan terakomodirnya keluhan masyarakat melalui mekanisme ini, maka tentu tidak perlu berbuntut panjang.

Step terakhir adalah pengawasan internal, baik yang dilakukan oleh atasan langsung maupun oleh struktur yang dibentuk untuk melakukan tugas pengawasan dalam internal penyelenggara misalnya inspektorat, siwas, itwasda, maupun struktur quality assurance lainnya. Dengan terlaksananya fungsi pengawasan internal secara berkala dan berkelanjutan, maka potensi maladministrasi pada instansi pelayanan publik dapat segera dideteksi dan ditangani sebelum kemudian merugikan pengguna layanan.

Menurut van Meter dan van Horn, implementasi yang berhasil seringkali membutuhkan mekanisme dan prosedur dimana pejabat (atasan) mendorong pelaksana (bawahan) bertindak secara konsisten pada aturan, mengingat para pejabat (atasan) dalam organisasi mempunyai pengaruh oleh posisi hierarkisnya (Budi Winarno : Kebijakan Publik, hal 162). Dengan pimpinan yang mampu memerankan posisi strategisnya tentu secara signifikan akan memengaruhi kinerja pelaksana.

Dengan menapaki tahapan demi tahapan di atas, diharapkan hak masyarakat atas pelayanan yang berkualitas dapat terpenuhi tanpa perlu mengerahkan effort yang lebih dari seharusnya. Oleh karena masyarakat berhak atas pelayanan publik yang berkualitas, wajar, dan adil tanpa harus berjuang melalui atensi publik.

Bagaimana dengan pelayanan di Jajaran Polda Sulsel sebab ada sejumlah Laporan Hingga sampai butuh waktu hingga tahunan namun sampai saat ini tak punya kejelasan atau kepastian hukum seperti kasus penarikan kendaraan oleh pihak finance/pembiayaan.

Seperti yang dialami oleh nasaba dari:

1. Toyata Astra Finance (TAF) 2 unit yakni:

  • STTLP/990/XI/2023/SPKT POLDASULSEL  tanggal 05 November 2023, atas nama Mira Santika Can, 
  • LP/B/442/V/2024/SPKT POLDASULSEL Tanggal 24 Mei 2024 atas nama Fahrianto dan 
2. Suzuki Finance Indonesia (SFI) 1 unit,
  • LP/B/374/II/2024/SPKT/POLRES TABESMAKASSAR POLDA SULSEL TANGGAL 28 Februari 2024 atas nama Basri DG Gassing.
Ketiga nasabah tersebut nasip kendaraannya belum punya kepastian hukum/tidak jelas meskipun itu diatur melalui Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia menegaskan satu satunya pihak yang berhak menarik kendaraan kredit bermasalah adalah kepolisian.
Menurut, Ketua Harian Laskar Merah Putih (LMP) Sulsel Fahrianto Achmad menjelaskan terkait kredit yang menunggak yang berhak menarik kendaraan adalah Polisi berdasarkan keputusan pengadilan.


"Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2011 yang berhak menarik kendaraan yang menunggak kredit yaitu juru sita pengadilan yang didampingi kepolisian bukan preman yang berkedok Debt collector," jelasnya.

Contoh lain, seperti apa yang dilakukan oleh Sebagai pelapor Daeng Bali Mewakili Daeng Gassing melakukam pengaduan ke Ombudsman Sulsel karena laporannya sejak tanggal 01 Maret 2024 hinggal saat ini belum ada kejelasan dari OJK.

"Hampirmi sebulan pengaduanku di OJK tapi yang saya harapkan belum ada tanda kejelasan dari OJK, itumi saya melaporkan keOmbudsman sementara itu muatanya mobilku tidak tau bagaimana kondisinya kerena itu mobil ada muatannya," kata daeng Bali. Senin (25/03/2024)

Terkait laporannya di OJK merasa terabaikan, korban melayankan laporan ke ombudsman Perwakilan Sulsel. Kamis (21/03/2024).
"Dijanji 14 hari tapi sampai saat ini belum ada tindakan ojk, itupun saya selalu dimenunggu, jadi saya kembali melapor diombudsman RI" kata Daeng Bali.

Sedangkan pihak Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Selatan, Gusti menuturkan bahwa Laporan Bapak/Ibu telah dirapatkan pada tanggal 25 Maret 2024 dan disetujui,  Rabu (27/03/2024)

"Sebagai informasi, Laporan Bapak/Ibu telah dirapatkan pada tanggal 25 Maret 2024 dan disetujui untuk dilanjutkan ke Pemeriksaan. Adapun saat ini sedang menunggu disposisi terkait Asisten Pemeriksa yang akan menangani," tutupnya.

Sedangkan seperti yang dialami oleh, Mira Santika Can, setelah bolak-balik dari Mamuju ke Makassar untuk mengurus kendaraannya yang ditarik oleh pihak leasing laporannya justru dihentikan sehingga melaporkan ke Propam Polda Sulsel namun hasilnya juga sama yakni tidak bisa dilanjutkan/ atau tidak cukup bukti menurut penyidik Polda Sulsel melalui sp2hp yang dikeluarkan.

"laporanku dihentikan makanya saya melapor ke Propam agar laporanku dilanjutkan kembali sudah bolak-balik dari Mamuju ke sini berapa kerugianku selama saya urus kendaraanku," bebernya.

Terkait hal tersebut adanya kendaraan yang ditarik oleh pihak Finance melalui depkolektornya tapi tidak ada yang bertanggung jawab namun unit dan atau kendaraan tetap disita/ dan tidak dikembalikan ke pemiliknya.
Jadi fungsi dan peranan terhadap Ombudsman RI dipertanyakan khususnya perwakilan Sulawesi Selatan sebab peristiwa tersebut telah viral bahkan bahwa Laskar Merah Putih (LMP) Provinsi Sulawesi Selatan telah melakukan unjuk rasa ke mapolda Sultan namun tetap sama sehingga menimbulkan? Penyidik Polda Sulsel yang diterapkan itu pasal apa, dasar hukumnya apa sehingga kasus tersebut hingga saat ini belum ada kejelasan.

Sementara ketika korban tersebut menyebut satu orang nama orang yang dimaksud tidak ditahan hingga Sampai saat ini.

Dasar Hukum:

  1. POJK) Nomor 22 Tahun 2023 yang menggantikan POJK Nomor 6 Tahun 2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
  2. Pasal 335 KUHP, Pasal 362, Pasal 365, Pasal 368, Pasal 369 KUHP.
  3. Mahkamah Konstitusi kemudian mengeluarkan putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019.
  4. Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 diatur kreditur atau kuasanya (debt collector) harus terlebih dahulu meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri untuk bisa menarik obyek jaminan fidusia.
  5. Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020, menegaskan, perusahaan pemberi kredit (leasing) atau kuasanya (debt collector) tidak bisa mengeksekusi obyek jaminan fidusia atau agunan seperti kendaraan atau rumah secara sepihak.
  6. Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.
Terkait hal tersebut tugas dan fungsi aparat penegak hukum khususnya di dalam penerapan undang-undang keuangan seperti yang dialami Ketiga orang tersebut menimbulkan tanda tanya Apakah OJK Kepolisian maupun Ombudsman yang ada di Sulawesi Selatan melayani dan melindungi masyarakat atau dilayani atau dilindingi oleh masyarakat (*/rd)