SatuBerita, Online//Jakarta, - Insiden kapal tongkang bermuatan batu bara yang kembali menghantam tiang Jembatan Mahakam pada 28 April lalu bukan sekadar kecelakaan maritim. Ini adalah alarm keras akan lemahnya sistem perlindungan infrastruktur vital di tengah denyut logistik nasional yang kian padat.
Penutupan sementara jembatan pada 30 April hingga 1 Mei, meski dinilai sebagai langkah preventif, justru menyorot absennya solusi jangka panjang. “Kita bicara tentang jalur yang menjadi nadi ekonomi, bukan sekadar tiang jembatan yang rusak,” ujar DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, pengamat maritim dari IKAL Strategic Center (ISC), saat diwawancarai di Jakarta (8/5).
Menurutnya, insiden ini menguak kelemahan mendasar dalam pengelolaan lintas sektor. “Jembatan dikelola Kementerian PUPR, sungai diatur Kementerian Perhubungan melalui KSOP. Ketika terjadi insiden, tidak ada komando terpadu. Semua sibuk menyalahkan, tidak ada yang menyelesaikan,” tegas Capt. Hakeng.
Ia menyebut dampak ekonomi dari insiden semacam ini tak bisa diremehkan: distribusi batu bara terganggu, antrean kapal memanjang, biaya logistik melonjak, dan potensi kerugian negara meroket. “Industri batu bara adalah tulang punggung penerimaan negara bukan pajak. Ketika distribusinya terganggu, konsekuensinya sistemik,” lanjutnya.
Solusi 'Murah' yang Terabaikan
Salah satu solusi konkret yang ia tawarkan adalah pemasangan fender—pelindung elastis berbahan karet yang mampu menyerap benturan kapal—pada tiang-tiang jembatan. “Negara-negara dengan trafik pelayaran padat sudah lama mengadopsinya. Kita? Lebih dari 20 kali tabrakan, belum juga belajar,” sindirnya.
Menurut Capt. Hakeng, jika pemasangan fender dibiayai bersama antara pemerintah dan pelaku pelayaran melalui skema retribusi atau premi proteksi, anggaran negara tidak akan terbebani secara signifikan. “Investasi ini kecil dibandingkan kerugian yang terus berulang.”
Lebih dari Sekadar Peralatan
Namun ia menegaskan, teknologi bukan satu-satunya kunci. “Ini soal kelembagaan. Perlu pembenahan menyeluruh dari hulu ke hilir: koordinasi antarinstansi, regulasi lintas sektor, hingga ruang desentralisasi teknis bagi daerah agar bisa bergerak cepat saat terjadi insiden.”
Ia juga mendorong penggunaan sistem navigasi modern, seperti lampu, radar, dan early warning system. “Bukan hal yang rumit. Teknologinya ada, biayanya terjangkau. Yang kurang adalah kemauan politik untuk menyatukan keselamatan dan ekonomi dalam satu bingkai kebijakan.”
Momentum untuk Bertindak
Insiden terbaru ini, menurutnya, harus dibaca sebagai panggilan reformasi menyeluruh dalam pengelolaan infrastruktur vital. “Ini bukan soal satu tiang jembatan yang retak. Ini tentang cara negara menjaga denyut logistiknya tetap hidup.”
“Keselamatan dan keberlanjutan bukan pilihan yang harus dipertentangkan. Keduanya bisa dan harus berjalan seiring, jika negara sungguh-sungguh berpikir strategis,” tutup Capt. Hakeng.
Narasumber: DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.Mar. Pengamat Maritim - IKAL Strategic Center Kabid Penataan & Distribusi Kader - PP Pemuda Katolik
📞 085810280811