Header Ads Widget

Ticker

6/recent/ticker-posts

Perkebunan Sawit Sekadau Keruk Galian C, Legalitas Ganda dan Celah Regulasi

SatuBerita, Online//Sekadau, Kalimantan Barat – Hamparan perkebunan sawit kini mendominasi hampir seluruh wilayah Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Namun, di balik hijaunya tanaman kelapa sawit, tersimpan persoalan pelik yang melibatkan dualisme perizinan, potensi pelanggaran hukum, hingga kerugian negara. Salah satu sorotan utama tertuju kepada PT. Tinting Boyok Sawit Makmur (TBSM), perusahaan perkebunan sawit yang pernah bermasalah dengan Hak Guna Usaha (HGU) dan kini diduga melakukan aktivitas penambangan galian C di dalam area HGU (13/5/2025).


Informasi hasil investigasi menyebutkan bahwa PT. TBSM, seperti halnya sejumlah perusahaan sawit lain di wilayah ini, memanfaatkan surat dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) sebagai dasar hukum melakukan pengerukan tanah (galian C) untuk kepentingan pembangunan internal, tanpa mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP)


Surat tersebut, bernomor 43/03/DJB/2018, tertanggal 8 Januari 2018, ditandatangani oleh Ir. Bambang Gatot Ariyono, MM, selaku Direktur Jenderal saat itu. Surat ditujukan kepada Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), menanggapi permohonan pemanfaatan laterit untuk kepentingan non-komersial di wilayah HGU.


Dalam surat itu dinyatakan bahwa perusahaan sawit yang memanfaatkan mineral untuk kepentingan internal di lahan perkebunannya tidak diwajibkan memiliki IUP, sebagaimana diatur dalam Pasal 105 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.


Celah Hukum atau Pembiaran Negara?

Masalah muncul karena praktik ini membuka peluang eksploitasi tanah secara besar-besaran tanpa kontrol ketat dari instansi pertambangan, sehingga berpotensi merugikan lingkungan, masyarakat, dan negara—baik dari aspek pajak maupun kewajiban reklamasi tambang.


“Ini semacam celah regulasi yang disalahgunakan. Surat dari Ditjen Minerba itu telah dijadikan tameng untuk merusak tanpa tanggung jawab,” ujar Aton, jurnalis investigasi yang melakukan peliputan di lapangan.


Padahal, secara regulasi, perizinan di sektor perkebunan berada di bawah Kementerian Pertanian, sementara galian C masuk dalam yurisdiksi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tumpang tindih otoritas ini membuat pengawasan di lapangan menjadi longgar, bahkan nyaris tidak ada.


Belum lagi, hingga kini status penyelesaian sengketa HGU PT. TBSM dengan masyarakat belum mendapat kejelasan. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa penguasaan lahan dan eksploitasi sumber daya dilakukan di atas fondasi hukum yang rapuh dan penuh konflik.


Dampak pada Masyarakat dan Lingkungan

Di beberapa titik, masyarakat mengeluhkan kerusakan lingkungan akibat aktivitas galian. Selain jalan desa yang rusak akibat lalu lintas alat berat, air sungai di sekitar kebun juga mengalami kekeruhan parah.


“Ini bukan cuma urusan legalitas, tapi juga soal keadilan ekologis,” tegas Aton.


Desakan untuk Evaluasi Nasional

Kasus di Sekadau menjadi cermin dari lemahnya pengawasan lintas kementerian dalam urusan pemanfaatan sumber daya alam. Publik menuntut audit menyeluruh terhadap semua aktivitas galian C di lahan HGU dan pengawasan atas perusahaan-perusahaan yang menggunakan surat Ditjen Minerba sebagai justifikasi aktivitas tambang tanpa izin resmi.


Jika tidak ditangani segera, situasi ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di sektor sumber daya alam. Negara bisa kehilangan potensi pendapatan dari sektor tambang, dan masyarakat hanya akan mewarisi kerusakan.



Hasil Laporan Ivestigasi Lapangan:  Aton  Jurnalis Investigasi